Potensi Akar Tumbuhan Tuba sebagai Biopestisida

Ada Pepatah mengatakan “Air susu dibalas dengan air tuba”, sebuah pepatah yang menggambarkan tentang sebuah kebaikan yang dibalas dengan keburukan. Mungkin hampir semua orang di Indonesia pernah mendengar  kata tuba. Lantas pertanyaannya  apakah tuba itu dan seburuk apakah tuba itu, sehingga kata tuba digunakan sebagai makna yang berlawanan dengan air susu.  Menurut Kartasapoetra (1993), tumbuhan tuba (Derris elliptica) merupakan perdu memanjat dengan tinggi  mencapai  10  m,  batang  berkayu,  bercabang  monopodial,  ketika  muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat  kekuningan. Tuba dapat tumbuh baik di semak-semak, hutan atau pinggiran sungai pada ketinggian 1-700 mdpl dan  terdapat hampir diseluruh wilayah Nusantara. Tumbuh terpencar-pencar di tempat yang tidak begitu kering, ditepi hutan, dipinggir sungai atau dalam hutan belukar yang masih liar.

Daun muda berambut kaku pada kedua permukaannya. Di bagian bawah daun diliputi oleh bulu lembut berwarna pirang. Ranting-ranting tuba tua berwarna kecoklatan (Kardinan 1996).  Tumbuh berpencar-pencar, di tempat yang tidak begitu kering, di tepi hutan, di pinggir sungai atau dalam hutan belukar yang masih liar dan kadang-kadang ditanam di kebun atau pekarangan. Tumbuhan ini merupakan penghasil bahan beracun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama serangga, baik diluar ruangan maupun di dalam ruangan. Disamping rotenon sebagai bahan aktif utama, bahan aktif lain yang terdapat pada akar tanaman tuba  adalah deguelin, elliptone, dan toxicarol. Bahan  aktif ini ditemukan pada akar tuba dengan kadar antara 2,5-3%,  paling banyak terkandung   dalam   kulit   akar   (Sari   2004).  Tanaman   ini   sering digunakan sebagai racun ikan, namun dapat juga digunakan sebagai pestisida, yaitu untuk pemberantasan hama pada tanaman sayuran, tembakau, kelapa, kina, kelapa sawit, lada, teh, coklat, dan lain-lain (Subiakto 2009).

Rotenon adalah salah satu anggota dari senyawa isoflavon, sehingga rotenon termasuk senyawa golongan flavanoida.  Rotenon dengan nama lain tubotoxin (C23H22O6)  merupakan pestisida alami yang kuat, titik lelehnya 163°C, larut dalam alkohol, karbon tetraclorida, kloroform, dan banyak larutan organik lainnya. Jika terbuka terhadap cahaya dan udara mengalami perubahan warna kuning terang menjadi kuning  pekat,  orange  dan  terakhir  menjadi  hijau  tua  dan  akan diperoleh kristal yang mengandung racun serangga (Casacchia 2009).

Rotenon merupakan racun sel yang sangat kuat dan merupakan racun akut. Rotenon murni yang belum diolah bahkan lebih beracun dari pada pestisida sintetis dari golongan karbaril atau malathion. Keracunan berat rotenon bisa menyebabkan kerusakan ginjal dan hati. Walaupun kadar racunnya sangat tinggi, rotenon bisa terurai dengan cepat karena sinar matahari. Rotenon sangat beracun bagi serangga namun relatif tidak beracun untuk tanaman dan mamalia   Rotenon dapat dipakai sebagai racun kontak dan racun perut untuk mengendalikan  serangga.  Beberapa percobaan  menunjukkan  bahwa rotenon efektif untuk mengendalikan kumbang pemakan daun dan beberapa jenis ulat. Rotenon diketahui aman untuk para petani, karena diketahui hanya beracun untuk hewan berdarah dingin dan kurang beracun untuk hewan berdarah panas. Rotenon tidak setabil di udara, cahaya dan kondisi alkali. Rotenon juga cepat didegradasi oleh tanah dan air. Oleh karena itu,  toksisitas  rotenon  akan  hilang setelah  2-3  hari  setelah  terkena cahaya matahari dan udara, sehingga baik untuk lingkungan dan aman untuk pertanian dan penggunaan lainnya (Hien et al. 2003).

Menurut Kidam (2017) , dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada uji efektivitas ekstrak akar tuba  terhadap mortalitas hama walang sangit (leptocorisa acuta thunberg) pada tanaman padi sawah menunjukkan  bahwa aplikasi ekstrak akar tuba  dapat menyebabkan mortalitas hama walang sangit  sebesar 100 % dalam rentang waktu kematian 2-3 hari.

Tinggalkan komentar